Jumat, 27 Mei 2016

CERITA PENDEK : "Complicated"

 
 
Aku tak pernah menyangka semua ini akan terjadi. 
Jika aku boleh berharap, 
Aku lebih ingin kita seperti 9 tahun lalu. 
Tak mengenal cinta. 
Yang ada hanya kita yang terus memperjuangkan persahabatan yang kita punya. –Niki
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Minggu, 4 Januari 2014 
Pagi itu, mentari bersinar dengan terik. Namun, tetap ada awan yang sedikit mengahalangi teriknya sinar mentari. Aku terduduk disebuah bangku taman yang masih sejuk. Bahkan, embun masih melembabi dedaunan bunga-bunga ditaman ini.  Disampingku, terduduk seseorang yang selama Sembilan tahun belakangan ini selalu bersamaku. Setiap saat. Tidak pernah tidak. Adrian. Sahabatku, sahabat baikku. Tapi saat ini, apa dia benar-benar hanya sahabatku? Tuluskah aku saat mengenalkannya pada mereka –teman-temanku hanya sebatas sahabat? Aku ... kurang.... yakin..
“Kamu masih betah disini, ki? Matahari udah mulai terik, nih!” Adrian menggerutu. Sembari menatapku tajam namun tak ada arti. 
Deg! 
Sembilan tahun lalu, ketika aku dan dia masih berumur lima tahun aku selalu membenci tatapan ini. Aku selalu memukul atau paling baiknya mengomel ketika Adrian menatapku seperti ini. Namun sekarang, semua berbeda. Entah aku atau Adrian yang berubah aku tak tahu. Yang jelas, aku selalu ingin bertahan dalam waktu ini saat dia menatapku. 
        
“Niki! Kok malah melamun, sih!” 
        
“Eh, em... maaf. Ya udah, ayo pulang. Aku juga udah laper. Hehe...” 
Adrian tak bicara lagi. Dia beranjak lalu menggaet tanganku untuk segera meninggalkan taman ini. hatiku berdesir. Dalam diam, aku meresapi kebahagiaan ini. Tanpa siapapun boleh mengetahui kebahagiaanku. Hanya aku dan Tuhan. Tak ada yang lain. 
*** 
Aku menyadari perubahan ini. Ya. Entah aku atau dia yang berubah. Atau bahkan kita yang berubah. Yang jelas, semua tak lagi seperti dulu. Dulu, semua yang dilakukan Adrian sangatlah membuatku sebal. Mulai dari tatapan tajamnya padaku, sikap jailnya, sampai sikap kekanak-kanakannya yang dahulu sangatlah menyebalkan bagiku.
 Namun sekarang, justru aku sangat menyukai apa saja yang Adrian lakukan. Tak peduli itu merugikanku atau tidak. Bagiku, semua yang dilakukannya sangat special. Aku juga selalu berharap waktu berhenti ketika Adrian menggandeng tanganku, ketika kita tertawa bersama, ketika kita melewati setiap detik bersama. Aku selalu berharap itu abadi. Dan tak berakhir.
Namun, semua hanya harapanku semata. Waktu terus berjalan. Begitu pula rasa sayangku terhadap Adrian. Rasa itu terus tumbuh. Tanpa ada siapapun yang tahu. Tanpa ada siapapun mengerti betapa sakitnya aku.
        
Sentuhan lembut ilalang-ilalang itu kepada kakiku menyadarkanku dari lamunan pedihku. Di bawah langit senja ini, di tengah hamparan ilalang-ilalang ini, dalam diam ekor mataku menatap sendu wajah errr.. tampannya. 
Adrian yang tersadar lantas kembali memberi tatapan tajam itu. Itu jelas membuat jantungku berdetak lebih kencang. 
“Ck. Berhenti menatapku seperti itu. Menyeramkan, tau!” aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Setidaknya untuk sedikit menetralkan detak jantungku. Walau aku tau, jantungku akan terus berdetak kencang saat aku berada didekat Adrian. 
Adrian tersenyum simpul sambil berkata “Ternyata kau tak pernah berubah..” 
Pandanganku yang semula tertuju ke arah gumpalan awan dilangit senja sana beralih ke arahnya. Kau salah Adrian!  Aku telah berubah. Perasaanku terhadapmu telah berubah. Aku menyayangimu Adrian. Bahkan, lebih dari seorang sahabat! 
Complicated
“Jelas saja aku berubah. Hanya kau saja yang tak memperhatikannya.” Aku kembali menatap gumpalan awan di langit kemerahan senja. Sebersit harapan muncul. Melewati senja bersama Adrian dengan statusku yang bukan lagi sahabatnya. Namun, kekasihnya. Tapi aku tau. Itu tidak akan mungkin terjadi. Persahabatan ini terlalu suci, menurutnya. 
“Wah! Ternyata sahabatku ini telah berubah. Berapa banyak cerita yang aku lewatkan?” Adrian memandangku dengan tatapan berseri. 
Cih. Sekeras apapun dia memohon. Aku tak akan pernah menceritakan cerita menarik sekaligus menyakitkan ini. cukup aku dan Tuhan yang tau. Aku tak ingin orang lain tau. Aku lebih senang seperti ini. berbahagia dalam diam. Juga, bersedih dalam diam. Itu menarik, kan? 
“Jelas saja kau tak pernah melewatkan satu pun ceritaku. Bukan itu maksudku. Apa kau tak sadar jika rambutku sudah berubah memanjang? Tak seperti dulu. Eh?” 
“Ah iya. Tapi, matamu tak bisa berbohong. Jujurlah. Pasti ada suatu cerita yang aku lewatkan. Ya?”  Ternyata kemampuannya membaca fikiran orang lain melalui pandangan mata belum hilang. Oh Tuhan. Dia tidak berubah. Hanya aku saja yang berubah.
“Ya. dan kau tak perlu tau.” 
“Cih. Aku sahabatmu, jelas saja aku perlu mengetahui pertumbuhan sahabatku yang mulai dewasa ini.” Adrian, bahkan aku bukan sedang bertumbuh lagi. Aku benar-benar sudah dewasa. Aku sudah merasakan cinta. Juga, sakitnya cinta. 
“Jangan remehkan aku. Jelas aku lebih dewasa.” 
“Dan aku tak kalah dewasa denganmu. Aku bahkan sudah mengenal cinta. Kau? Rasanya aneh orang sepertimu mengerti cinta.” 
Entah apa ini. tubuhku terasa lemas. Benar-benar lemas setelah mendengar ucapannya tadi. Dia mengenal cinta? 
“Ternyata kau menyembunyikan ceritamu juga.” 
Aku lihat Adrian tersenyum tipis. Namun, tetap saja tak bisa menghilangkan rasa cemasku. Rasa cemas yang mendalam akan kehilangannya ketika ia mulai mengenal lima huruf menyakitkan itu. Apa aku egois? 
“Ternyata aku belum menceritakannya padamu.” Adrian menarik nafas sejenak lalu mengeluarkannya dengan sedikit kasar sebelum kembali berbicara  “Aku menyukai Cindy dan ternyata, Cindy juga menyukaiku. Kita sepasang kekasih sekarang” 
Deg! Semua seolah hancur. Bak Titanic yang berkeping-keping setelah menabrak karang. Aku hancur. 
“Oh.” 
Senin, 6 Januari 2014
Setelah mendengar pengakuannya senja kemarin, aku tak ingin menemuinya. Dan anehnya, Adrian sama sekali tak mencariku. Hanya tadi pagi ia menghampiriku untuk berangkat bersama. Namun, aku tolak. Aku tak ingin lagi mendapatkan tatapan tajamnya, gandengan tangannya, ataupun semua tentangnya. Ya, aku memang senang ketika Adrian melakukan itu padaku. Tapi itu menyakitkanku. Semua yang dilakukannya layaknya harapan besar yang sengaja diberikannya untukku. Padahal sebenarnya, itu hal yang sudah lumrah dilakukannya sejak Sembilan tahun lalu. Sejak Adrian memulai persahabatan ini. persahabatan yang menurutnya akan abadi selamanya. Persahabatan yang menurutnya terlalu suci untuk dihancurkan. Dan persahabatan yang membuatnya berjanji tak akan mencintaiku. 
Seketika, manic mataku tertuju pada setangkai bunga yang merekah indah di halam rumahku. Melalui jendela besar kamarku ini, aku selalu bisa mengintai halaman rumahku sambil bersembunyi. Dan tak ada siapapun tau. Em, seperti ... perasaan aneh ini terhadap Adrian. Sahabatku. 
Dalam diam, aku menangis. Bukan menyesali persahabatanku dengan Adrian. Namun, menyesali perasaan aneh yang akan makin menyakitkan ketika itu tumbuh. Dalam diam juga, aku menyadari bahwa semua ini adalah pelajaran. Agar aku dapat merasakan. Bagaimana sakitnya hati ini ketika aku mengetahui Adrian menyukai orang lain. Bagaimana pedihnya hati ini ketika harus merelakannya mengejar apa yang dia inginkan dan tidak aku inginkan. Aku tak boleh egois. Persahabatan ini harus tetap tumbuh walau disini aku tersakiti. Benar kata Adrian, persahabatan ini terlalu suci untuk dihancurkan. Detik ini, aku menyadari apa arti cinta yang sesungguhnya. Mengerti dan memahami. Mengerti Adrian yang ternyata menyukai Cindy dan hanya menganggapku sahabat, tak lebih dan tak akan lebih. Memahami hati Adrian yang telah luluh oleh Cindy. 
Dalam diam aku menangis. Dalam diam juga aku mulai menjadi dewasa, yang sesungguhnya. Merelakan seorang yang kita sayangi untuk orang lain. Itu bahkan lebih dewasa daripada hanya mengenal cinta dan terus mengejar atau bahkan memaksakan cinta. Merelakannya untuk seseorang yang dicintainya. Aku akan berusaha itu. Walau akhirnya aku yang menangis. Aku tak peduli. Toh, aku tetap memiliki Adrian. Tak pedulikan status hanya sahabat. Aku tetap memilikinya. 
“Niki, ayo lekas berangkat. Kau tau kan ketatnya peraturan Bimbel menyebalkan itu?”
Dari ambang pintu, Adrian dengan kaos hitam pemberianku ketika ulang tahunnya yang ke 13 berdiri dengn tegaknya. Seolah memamerkan ketampanannya. ah, terlalu banyak perubahan pada fisik Adrian. Dia makin tampan juga dewasa. Tetapi, dia tetaplah Adrian kecilku dulu dengan tatapan tajamnya yang menyebalkan dan mendebarkanku. Hihi. 
“Ayo!” 
-END-

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.